• INDONESIA DEFISIT BUAH

    by  • 30/03/2017 • Buah, Sayur, Tanaman Hias, PERTANIAN • 1 Comment

    Badan Pusat Statistik (BPS), mencatat ekspor buah penting Indonesia tahun 2015 sebesar 62.834,3 ton dengan nilai 34.085.829 dollar AS. Impor buah kita 2015 sebesar 390.776.463 ton dengan nilai 589.213.092 dollar AS.

    Dengan nilai kurs Rp 13.000 per satu dollar AS, nilai ekspor buah Indonesia 2015 sebesar Rp 443.115.777.000 (443,1 miliar rupiah). Sementara nilai impor buah kita tahun yang sama sebesar Rp 7.659.770.196.000 (7,6 triliun rupiah). Data BPS itu memang belum memasukkan ekspor konsentrat nanas dan nanas dalam kaleng. Padahal Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat ekspor konsentrat nanas Indonesia, data mutahkir 2011, mencapai 19.308 ton senilai 34.335.000 dollar AS atau Rp 446.355.000.000 (446,3 milliar rupiah), dan ekspor nanas dalam kaleng 169.878 ton senilai 169.418.000 dollar AS atau Rp 2.202.434.000.000 (2,2 triliun rupiah). Namun dengan ditambah ekspor nanas olahan pun, Indonesia masih defisit buah.

    mangga-enak-1a
    Apabila memperhitungkan ekspor produk nanas, volume ekspor buah Indonesia menjadi 252.020,3 ton dengan nilai 203.753.000 dollar AS atau Rp 3.092.904.777.000 (3 triliun rupiah). Dibandingkan dengan volume impor buah 390.776.463 dengan nilai 589.213.092 dollar AS atau Rp 7.659.770.196.000; kita defisit 390.524.442,7 ton buah, senilai 385.460.092 dollar AS atau Rp 4.566.865.419.000 (4,5 triliun rupiah). Selain konsentrat dan nanas dalam kaleng, buah yang kita ekspor terdiri dari plantain (pisang olahan), manggis, semangka, salak, mangga dan rambutan. Buah yang kita impor terdiri dari kurma, jeruk keprok, anggur, jeruk lemon, apel, pir, dan lengkeng.

    Kemungkinan ada kesalahan pencatatan. Sebab Indonesia tidak mungkin mengekspor plantain sebesar itu, kemungkinan yang kita ekspor pisang cavendish. Indonesia juga tidak mungkin mengimpor jeruk lemon sebesar itu. Kemungkinan yang kita impor jeruk manis. Ekspor buah Indonesia sangat tertolong oleh kelompok bisnis Gunung Sewu. Konsentrat nanas dan nanas dalam kaleng yang kita ekspor, merupakan produk PT Great Giant Pineaple dan pisang cavendishnya produk PT Nusantara Tropical Farm. Dua perusahaan ini merupakan kelompok Gunung Sewu, yang berdomisili di Provinsi Lampung. Tanpa ekspor produk olahan nanas dan pisang cavendish, defisit buah kita akan lebih besar.

    # # #

    Indonesia defisit buah, bukan karena masyarakat gandrung buah impor, melainkan karena volume produksi buah nasional kita memang masih di bawah volume konsumsi. Seandainya ekspor dihentikan pun, kita masih tetap akan kekurangan buah. Ekspor buah akan sulit untuk digenjot naik, bukan karena masalah pengenaan tarif di negara tujuan ekspor, atau kelemahan kualitas buah kita, melainkan karena volume produksi kita memang masih sangat rendah. Kebun buah berskala besar, dengan pengelolaan modern, masih sangat terbatas. Yang ada kebun rakyat dengan tingkat produktivitas, kualitas dan kontinuitas yang sulit untuk menjawab tantangan ekspor.

    Informasi seperti ini, sayangnya tak pernah disampaikan kepada Presiden secara transparan. Maka paling tidak dalam tiga kesempatan Presiden mengemukakan pendapat yang tidak tepat. Pertama, saat meninjau Festival Buah Nusantara di IPB, Bogor, 28 November 2015, ia mengatakan pentingnya mengurangi ketergantungan kita pada buah impor. Kedua saat bertemu Presiden Korea Selatan Park Geun-hye, pada 16 Mei 2016. Presiden Joko Widodo ingin Korea Selatan mempertimbangkan ulang bea masuk yang mencapai 200%, sebab dari sisi produksi, terutama pisang dan mangga, kita oke. Padahal, andaikan bea masuk ke Korsel 0% pun, belum tentu kita bisa memenuhi permintaan mereka, karena faktor produksi.

    Ketiga, ketika meresmikan beroperasinya Lulu Hypermarket, cabang perusahaan ritel Uni Emirat Arab (UEA), di kawasan Cakung, Jakarta Timur, 31 Mei 2016, Presiden kembali berharap dengan dibukanya cabang perusahaan ritel yang sudah memiliki 125 outlet di Timur Tengah, maka produk buah Indonesia seperti sirsak, durian, buah naga, dan pisang, bisa menyebar masuk ke negara lain. Ini merupakan “impian klasik” yang sudah disampaikan oleh para Presiden terdahulu. Yang terjadi Indonesia terus menerus kekurangan buah, hingga ketergantungan pada buah impor semakin besar. Penyebab utama defisit buah nasional, sekali lagi karena tak ada kebun berskala besar yang dikelola secara profesional.

    Waktu memberi izin pembukaan agroindustri nanas PT Great Giant Pineapple di Lampung, Presiden Soeharto memberi syarat, perusahaan itu wajib menyertakan petani, dengan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Rakyat diminta menanam nanas, perusahaan membeli dari petani untuk diolah di pabrik. Karena merupakan persyaratan pemerintah, hal ini dituruti oleh Great Gian Pineapple. Hasilnya, lebih dari 50% produk petani tak diterima pabrik. Sebab mesin pengupas nanas mensyaratkan ukuran standar, hingga saat masuk ke alat pengupas, bisa benar-benar pas, hingga tak terlalu banyak daging buah terbuang. Nanas rakyat sebagian besar terlalu kecil hingga tak terpegang (terkupas) oleh mesin.

    # # #

    Peningkatan produktivitas, sebenarnya juga tidak harus dengan membuka kebun besar seperti Great Giant Pineapple, maupun Nusantara Tropical Farm. Saya pernah “tertipu” dengan membayangkan, di Thailand akan melihat sebuah perkebunan leci berskala ribuan hektar, dengan sebuah pabrik besar. Sebab leci dalam kaleng dari Negeri Gajah Putih itu bisa dengan mudah kita temui di pasar swalayan Indonesia. Di Thailand ternyata tak ada perkebunan leci berskala besar. Para petani leci Thailand hanya mengelola kebun rata-rata di bawah lima hektar. Tapi saat panen, leci itu langsung disortir di kebun. Yang berkulit cacat tapi daging buah masih bagus disisihkan tak ikut diekspor sebagai buah segar.

    Di kebun itu pula saya lihat sekelompok perempuan berpenutup kepala, bermasker, dengan sarung tangan mengupas leci afkir yang telah dicuci, membuang biji, dan mengumpulkan daging buah dalam wadah. Daging buah itu kemudian diangkut ke satu bangunan yang tak terlalu besar. Di sini terkumpul daging buah leci dari beberapa kebun, yang diberi sirup, dimasukkan ke dalam kaleng, dipasteurisasi, lalu ditutup. Kaleng yang masih polos itu kemudian dibawa ke bangunan lain yang berukuran sangat besar. Di sini telah terkumpul buah leci dalam kaleng dari beberapa unit pengalengan. Setelah diberi tempelan merek, kaleng-kaleng leci itu dimasukkan ke dalam kardus dan siap untuk diekspor.

    Agroindustri leci berbasis kebun rakyat itu bisa diwujudkan di Thailand, karena koperasi petani di negeri tersebut sudah sangat kuat. Koperasi inilah yang mengurus manajemen agroindustri leci dalam kaleng, dengan memanfaatkan buah afkir dari seluruh kebun yang ada di negeri tersebut. Dengan manajemen yang baik, mereka bisa mengatur ekspor leci segar, dan mengalengkan leci dengan kulit cacat tetapi daging buah masih bagus. Tanpa manajemen yang baik, tidak mungkin ribuan petani leci itu bisa diatur agar menghasilkan daging buah leci dalam kaleng. Hal-hal seperti inilah yang tak pernah sampai di telinga Presiden RI. Padahal tanpa laporan yang benar dan akurat, keputusan yang tepat akan sulit diambil. # # #

    Artikel pernah dimuat di Mingguan Kontan
    Foto : F. Rahardi

    About

    One Response to INDONESIA DEFISIT BUAH

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *