• MEMBUKA 20 JUTA HEKTARE HUTAN

    by  • 30/09/2025 • Uncategory • 0 Comments

    Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni berwacana akan membuka 20 juta hektare lahan hutan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan energi. Karena mendapat reaksi keras dari masyarakat, diapun “ngeles” bukan mau membuka hutan melainkan menghijaukan hutan rusak untuk produksi pangan.

    Padahal wacana itu mengarah ke pembukaan lahan hutan, terutama di dataran rendah Papua untuk lahan sawit. Sebab hutan di Sumatera dan Kalimantan sudah habis, sedangkan hutan di Sulawesi dan Maluku berbukit-bukit hingga tidak cocok untuk lahan sawit. Hutan Papua yang datar masih cukup luas. Inilah yang diincar oleh para investor sawit. Presiden Prabowo Subianto juga sudah “tes ombak” dengan mengatakan bahwa sawit juga pohon dengan daun yang bisa menghasilkna oksigen. Secara tersirat dia akan merestui pembabatan hutan di Papua. Toh sawit itu juga sama saja dengan pohon hutan.

    Setelah publik bereaksi cukup keras, Menteri Kehutanan meralat pernyataannya. Dia menyalahkan media yang keliru menginterpretasikan pernyataan sebelumnya. Dia menyatakan tidak akan membuka hutan, melainkan menghijaukan lahan hutan yang rusak, dengan tanaman pangan. Sesuatu yang masih sangat abstrak. Lahan-lahan rusak itu berada di Sumatera dan Kalimantan dan umumnya berupa rawa-rawa gambut atau padang alang-alang/belukar. Lahan-lahan ini merupakan konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang diterlantarkan oleh pemiliknya setelah kayunya habis.

    Hutan terlantar di Sumatera dan Kalimantan diperkirakan lebih dari 20 juta hektar. Tahun 2011, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan memperkirakan hutan terlantar di Indonesia mencapai 12 juta hektar. Dia mengutip data dari Badan Pertanahan Nasional. Perkiraan saya luas hutan terlantar lebih dari 20 juta hektare, karena banyak sekali pemilik HPH yang mendaftarkan status lahannya masih berupa Hutan Tanaman Industri (HTI), padahal hanya ditanami sebagian untuk ditunjukkan pada saat ada pemeriksaan. Selain berstatus HTI, hutan terlantar eks HPH juga ada yang sudah berstatus perkebunan, dengan sebagian kecil ditanami karet, sawit dll.

    Hutan terlantar seperti ini sangat sulit direhabilitasi. Pemerintah Orde Baru pernah gagal mengubah lahan gambut sejuta hektare menjadi sawah. Pemerintah Jokowi telah gagal membangun food estate dengan luas lahan yang tidak pernah transparan. Hingga rehabilitasi hutan rusak memerlukan biaya sangat besar dengan resiko kegagalan cukup tinggi. Para investor sawit di Indonesia sangat jeli. Mereka tidak akan mau diberi hutan terlantar sebab biaya investasinya besar, tingkat keberhasilannya kecil. Itulah sebabnya mereka cenderung mengincar lahan hutan di Papua yang datar dan masih cukup banyak ditumbuhi pohon besar.

    Kayu Komoditas Mahal

    Investor sawit selalu mengincar lahan datar berhutan lebat. Sebab lahan datar berupa rawa gambut dan padang alang-alang sudah tidak subur dan biaya rehabilitasinya tinggi. Lahan hutan lebat di pegunungan mereka juga tidak mau sebab operasional kebun, terutama biaya panen akan sangat tinggi. Karena hutan datar di Sumatera dan Kalimantan sudah habis, sedangkan hutan di Sulawesi dan Maluku berbukit-bukit, yang diincar lahan hutan Papua. Untuk itu yang perlu dilobi Presiden dan Menteri Kehutanan. Dampak dari lobi itu muncul berupa pernyataan Menteri Kehutanan dan Presiden yang tampak kompak.

    Kalau benar pengusaha sawit dibolehkan membuka hutan dataran rendah Papua, habislah hutan Indonesia. Pengusaha sangat diuntungkan karena pertama, mereka akan mendapatkan penghasilan dari memanen kayu. Modal untuk memanen kayu bisa dipinjam dari bank dengan agunan sertifikat HGU. Dari hasil memanen kayu, mereka dapat modal untuk menanam sawit dan membangun pabrik. Dalam jangka waktu hanya 2,5 tahun sawit sudah mulai berproduksi. Jadi praktis pengusaha sawit yang ingin masuk ke Papua itu hanya bermodalkan kedekatan mereka dengan penguasa. Sebab lahan hutan itulah sebenarnya yang akan jadi modal mereka.

    Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memang rawan disusupi kepentingan yang mencederai hati nurani rakyat, lingkungan hidup, HAM dan juga demokrasi. Pernyataan untuk membuka 20 juta hutan guna pemenuhan kebutuhan pangan dan energi sebenarnya terlalu mengada-ada. Paska reformasi, Indonesia tidak pernah kekurangan pangan. Produksi beras kita terus meningkat sejalan dengan peningkatan konsumsi. Perubahan peruntukan lahan sawah menjadi jalan dan bangunan, bisa diimbangi dengan penambahan produksi dari pembangunan waduk dan sarana pengairan.

    Impor beras yang sering diributkan di media terutama media sosial, sebenarnya bukan karena Indonesia kekurangan beras, melainkan Bulog yang diwajibkan menyimpan cadangan beras pemerintah minimal sebesar 1,5 juta ton per tahun, tidak bisa membeli gabah/beras petani karena harga pasar lebih tinggi dari harga eceran terendah (HET) yang ditetapkan pemerintah. Impor 1,5 juta ton itu sangat kecil dibanding konsumsi beras kita sekitar 29 juta ton dan produksi nasional 31 juta ton. Pengertian konsumsi dalam hal ini bukan hanya untuk dimakan sebagai nasi, melainkan juga berupa tepung dan untuk pakan ternak.

    Yang mencemaskan justru impor gandum yang di atas 10 juta ton per tahun dengan nilai di atas Rp50 triliun. Besarnya volume dan nilai impor gandum ini bukan dalih untuk membuka 20 juta hektar hutan untuk budidaya tanaman pangan. Sebab gandum hanya bisa disubstitusi dengan singkong. Itu pun berupa tepung singkong (cassava flour), bukan pati (tapioka) atau tepung gaplek (cassava powder). Kalau hanya ingin budidaya singkong untuk produksi cassava flour cukup perkebunan BUMN dan swasta besar diberi tugas agar saat replanting menanam singkong. Tanpa perlu membuka lahan hutan sampai 20 juta hektare. # # #

    Artikel pernah dimuat di Tabloid Kontan
    Foto F. Rahardi

    About

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *