• SERANGGA DALAM MAKAN BERGIZI GRATIS (MBG)

    by  • 07/10/2025 • Uncategory • 0 Comments

    Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana mengatakan bahwa serangga bisa menjadi alternatif sumber protein dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Pernyataan ini menambah jumlah kontroversi program pemerintah Presiden Prabowo.

    Serangga dewasa dan larvanya memang menjadi makanan tradisional berbagai masyarakat dunia yang kaya nutrisi. Masyarakat tradisional memang akrab dengan serangga sebagai makanan bergizi. Misalnya di Papua ulat sagu merupakan makanan favorit. Di Gunung Kidul ada belalang. Kepompong (entung) jati dan avokad juga dikonsumsi. Di kawasan pegunungan di Jawa Tengah dan DIY gangsir merupakan menu yang cukup bergengsi. Sampai sekarang masih banyak kelompok masyarakat yang mengonsumsi laron. Bahkan ada masyarakat yang membuat sambal walang sangit.

    Larva lebah madu dan tabuhan (tawon ndas) juga dikonsumsi masyarakat sebagai menu kaya protein. Demikian pula larva ngengat bambu Omphisa fuscidentalis juga dikonsumsi sebagai makanan lezat. Dalam literatur berbahasa Indonesia nama latin ulat bambu ditulis Erionota thrax. Padahal Erionota thrax ulat penggulung daun pisang. Ulat penggerek di pangkal pohon turi dan kecipir juga edible. Tarantula yang dalam Bahasa Jawa disebut katel, juga dikonsumsi sebagai “obat” anak-anak yang masih ngompol. Tetapi anak-anak juga sering berburu katel untuk dipanggang dan dikonsumsi.

    Di negara-negara Indochina, terutama di Thailand, tarantula bahkan kalajengking diternak untuk digoreng dan dijual di pasar Kota Bangkok. Selain tarantula dan kalajengking, gangsir, belalang dan aneka larva serangga juga dijajakan di metropolitan negeri gajah putih itu. Negara-negara Indochina memang mampu mempertahankan serangga edible sebagai menu tradisional mereka, berdampingan dengan menu-menu modern. Serangga goreng di pasar tradisional malahan bisa mereka jadikan salah satu daya tarik bagi wisatawan asing, meskipun hanya satu dua wisatawan yang berani mencoba.

    Di Uni Eropa pun, serangga terutama jangkrik juga menjadi menu yang trending. Para aktivis lingkungan mempromosikan bahwa dengan nutrisi yang sama, serangga lebih sedikit menghadirkan karbon di udara dibanding unggas dan mamalia sebagai ternak. Meskipun belakangan para peternak jangkrik skala kecil di Inggris terganjal perundang-undangan yang melarang memperdagangkan serangga untuk konsumsi manusia, setelah mereka memisahkan diri dari Uni Eropa. Saat ini para peternak jangkrik di Inggris dibantu para aktivis lingkungan sedang melobi pemerintah agar larangan itu dicabut.

    Wacana Kontroversial

    Makan Bergizi Gratis hanyalah salah satu janji kampanye Presiden Prabowo Subianto, hingga sebenarnya tidak wajib dijalankan sebagai program pemerintah. Yang lebih urgent dalam dunia pendidikan di Indonesia bukan kurikulum terlebih lagi gizi. Yang urgent untuk dijadikan program pemerintah dalam dunia pendidikan adalah peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru. Masalah gizi anak lebih terkait dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Anak-anak bergizi paling buruk bukan mereka yang bersekolah melainkan yang tidak mampu bersekolah karena berasal dari keluarga yang berkekurangan.

    Karena dilaksanakan dengan tergesa-gesa (grusa-grusu), program MBG menjadi kontoversial. Ditambah lagi dengan berbagai pernyataan pejabat publik yang menambah kontroversi program MBG. Termasuk pernyataan Kepala BGN tentang serangga untuk MBG, tanpa memikirkan konsekuensi teknis pengadaan dan penerimaan si anak. Jangankan disuruh makan serangga, makan buah dan sayuran pun anak-anak sekarang malas. Karena media massa terutama dunia digital penuh dengan informasi tentang fast food, yang biasanya sekaligus juga junk food. Informasi tentang buah-buahan dan sayuran sangat terbatas di dunia digital.

    Mayoritas anak-anak sekarang berorientasi ke mall, yang dipenuhi dengan gerai makanan franchise multi nasional berupa junk food. Gerai makanan franchise nasional dan asing juga menyerbu sampai kota kecamatan, dan yang dijual juga sama: ayam goreng, sosis dan eskrim. Tak ada yang menjual buah-buahan dan sayuran terlebih serangga. Kalau pun ada yang mencoba, tidak akan laku. Tentu ada sebagian kecil anak-anak dan remaja yang berminat ke alam bebas, masuk hutan, makan buah, sayuran dan serangga. Anak-anak seperti ini sejak dari dahulu hanya sebagian kecil, dan bukan gejala umum.

    Masyarakat Thailand pun hanya sebagian kecil yang mengonsumsi serangga. Pada umumnya mereka mencukupi kebutuhan protein hewani dari ikan, udang, satwa air lain, daging unggas dan mamalia, telur serta susu. Tetapi sebagian kecil rakyat Thailand tetap bisa melestarikan tradisi mengonsumsi serangga mereka. Adanya permintaan pasar menyebabkan peluang baru untuk budidaya, termasuk budidaya tabuhan, tawon ndas, hornet, Vespa affinis; sebab suplai dari alam sudah tidak cukup. Thailand juga bisa menjadikan gerai serangga goreng di pasar tradisional menjadi salah satu daya tarik pariwisata.

    Homo sapiens purba lebih banyak mengonsumsi pucuk daun, buah-buahan, serangga dewasa dan larvanya, telur dan madu lebah. Serealia dikonsumsi setelah manusia mengenal budaya bercocoktanam. Homo sapiens mengenal daging unggas dan mamalia, saat satwa itu terbakar dalam kebakaran hutan. Sejak itulah manusia mulai berburu dan membakar unggas serta mamalia. Manusia modern mencukupi kebutuan pangannya dari industri tanaman, ikan dan hewan. Yang masih diambil dari alam tinggal biota laut. Hingga mengusulkan serangga menjadi menu MBG hanya akan membuat program ini semakin kontroversial. # # #

    Artikel pernah dimuat di Tabloid Kontan
    Foto F. Rahardi

    About

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *