TANAM CABAI DI DEPAN RUMAH
by indrihr • 14/10/2025 • Uncategory • 0 Comments
Rabu, 26 Februari 2025 dalam CNBC Economic Outlook 2025 di The Westin, Jakarta Selatan; Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas), menyarankan masyarakat menanam cabai di depan rumah untuk mengantisipasi lonjakan harga selama bulan Ramadan. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250227075237-92-1202924/zulhas-usul-masyarakat-tanam-cabai-depan-rumah-usai-lonjakan-harga
Saran Menteri Zulhas ini mendapat beragam tanggapan dari netizen Indonesia. Umumnya netizen menganggap saran ini terlalu naif apabila datang dari seorang menteri. Terlebih karena menjelang Ramadan 2025 sekarang ini tak terjadi lonjakan harga. Cabai merah keriting rata-rata hanya Rp62.000 per kilogram, cabai merah besar Rp65.000 dan cabai rawit merah Rp98.000. Biasanya masyarakat baru ribut harga cabai mahal saat cabai rawit merah di atas Rp150.000 per kilogram. Fluktuasi harga cabai di Indonesia rutin terjadi karena masyarakat masih mengonsunsi cabai segar, bukan cabai kering, serbuk, pasta atau oleoresin.
Sesuai hukum pasar, saat pasokan sebuah komoditas melebihi permintaan, harga akan turun. Sebaliknya ketika volume pasokan berada di bawah permintaan, harga akan naik. Lonjakan harga cabai di Indonesia bukan terjadi selama bulan Ramadan dan Lebaran; melainkan saat awal musim penghujan. Karena rawan terpapar penyakit akibat jamur, bakteri dan virus, petani jarang mau membudidayakan cabai pada saat awal musim penghujan. Sebaliknya pada awal musim kemarau, pasokan cabai berlebih hingga harga jatuh. Fluktuasi harga cabai dengan rentang harga cukup besar ini juga disebabkan tak ada pengaturan produksi.

Badan Pusat Statistik (BPS) dengan kantor dan tenaga statistik tersebar di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia memang tahu berapa luas areal tanaman cabai dan berapa volume produksinya. Tetapi BPS tidak mencatat siapa yang memproduksi dan kapan ditanam serta dipanen. Data petani, luas areal tanam dan waktu panen perlu ditambahkan ke data luas areal dan volume produksi agar menjadi database pertanian. Di negara-negara tetangga, misalnya Malaysia, Thailand dan Australia, tersedia database petani luas areal dengan volume produksi dan jadwal tanam/panen.
Penyusunan database mestinya bisa dilakukan oleh Dinas Pertanian. Sebab data yang dihimpun tenaga statistik pun juga berasal dari dinas-dinas teknis. Setelah database diperoleh, pengaturan jadwal tanam dan panen dilakukan oleh internal kelompok, koperasi dan asosiasi petani cabai; dengan cara ini kelebihan dan kekurangan pasokan bisa diminimalkan. Terlebih kalau koperasi bisa membeli cabai petani anggotanya, mengeringkan dan menjualnya ke perusahaan pengguna cabai seperti Indofood. Itulah yang terjadi di Malaysia, Thailand dan Australia hingga pasokan sayuran serta buah selalu sesuai dengan permintaan.
China Sebagai Acuan
Indonesia dengan produksi 3.061.260,44 (ton) penghasil cabai nomor empat setelah China 17.134.480,1, Meksiko 3.681.061,47 dan Turki 3.081.010. Di bawah Indonesia ada Spanyol 1.389.830. Produksi cabai kita hanya 17% dari produksi cabai China. Penduduk China 1,4 miliar, Indonesia 274 juta jiwa (19,5%) dari China. Idealnya produksi cabai kita juga 19,5% dari produksi cabai China dengan volume 3.341.223,61. Sebab masyarakat Indonesia sama dengan masyarakat China sama-sama doyan pedas. Populasi Meksiko hanya 129,7 juta jiwa, Turki hanya 85,7 juta jiwa dan Spanyol 48,35 juta.
Meski berpenduduk lebih tinggi dari China, India (1,438 miliar jiwa) hanya memproduksi cabai 73.914,76 ton. Sebab rasa pedas dalam masakan India bukan berasal dari cabai, melainkan lada, cabai panjang, pala, cengkih, kapulaga, dan jahe. Sama dengan Amerika Serikat (AS), yang berpenduduk 340,1 juta jiwa; hanya memproduksi cabai dengan volume 576.743 ton. Sebab masyarakat AS juga tidak suka masakan pedas. Restoran-restoran cepat saji dari AS juga tidak menggunakan cabai segar, cabai kering, pasta atau serbuk; melainkan oleoresin cabai dengan standar kepedasan terukur.
Memenuhi kebutuhan pangan dengan membudidayakannya sendiri, merupakan model pertanian subsisten. Masyarakat tradisional memang membudidayakan padi, sayuran, buah-buahan dan berburu serta menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Contoh pertanian subsisten masih bisa kita lihat di Baduy Dalam (Banten), Ciptagelar dan Kampung Naga (Jawa Barat). Dalam masyarakat modern, kebutuhan pangan disuplai oleh agroindustri tanaman serealia, umbi-umbian, sumber pati, buah-buahan, sayuran, rempah, tanaman penyegar (kopi, teh, kakao) dan peternakan serta perikanan.
Tanpa disarankan oleh siapa pun, masyarakat di kota-kota besar sudah berinisiatif menanam cabai, bawang daun, seledri dll. di mana pun masih ada tempat. Kegiatan ini disebut sebagai pertanian kota (urban farming). Bahkan tak jarang urban farming ini bersifat komersial yang disebut kebun pasar (market garden). Petani menyewa lahan nganggur di sekitar kota besar, untuk membudidayakan sayuran dan buah-buahan semusim, lalu konsumen datang ke lahan pertanian untuk membelinya langsung ke petani. Atau petani dan konsumen bertransaksi secara online, lalu produk dikirim menggunakan jasa kurir.
Para petinggi pemerintahan sektor pertanian/pangan kita memang agak asing dengan model pertanian perkotaan. Di hampir semua metropolis dunia ada aktivitas kebun sewa yang disebut allotment. Masyarakat kota yang sudah tak punya ruang untuk menaruh pot sekalipun, menyewa sejengkal lahan milik pemerintah untuk menyalurkan hobi bercocok tanam mereka. Aktivitas allotment, yang di Belanda disebut volkstuin sudah berkembang di hampir semua metropolis dunia, kecuali di Indonesia. Saran Menteri Zulhas mestinya disampaikan ke Gubernur Jakarta untuk menginisiasi market garden dan allotment. # # #
Artikel pernah dimuat di Tabloid Kontan
Foto F. Rahardi