• PELUANG BUDI DAYA SINGKONG

    by  • 26/08/2013 • Pangan, PERTANIAN • 2 Comments

    Impor gandum Indonesia berbagai jenis dan bentuk, dari bulan Januari – Oktober 2012, mencapai tujuh juta ton, dengan nilai Rp 10,6 trilliun. Impor gandum ini akan menjadi makin besar, sekiranya tidak ada substitusi tepung singkong.

    Ada tiga kategori tepung singkong yang diperdagangkan di dunia internasional. Pertama tepung gaplek, yang disebut cassava powder. Kedua pati singkong yang disebut tapioca, atau manioc. Ketiga, tepung singkong segar yang disebut cassava flour. Belakangan muncul pula istilah mocaf (modified cassava flour). Tepung gaplek adalah singkong segar dikupas, dijemur sampai kering, kemudian digiling menjadi tepung. Pati singkong adalah singkong segar digiling, dicampur air, diperas, diendapkan, air dibuang. Endapan ini ditiriskan, kemudian dikeringkan, dan hingga menjadi pati singkong. Tepung singkong adalah singkong segar dikupas, diiris menjadi chips dikeringkan dengan oven, kemudian ditepungkan. Mocaf diproses sama dengan cassafa flour, akan tetapi sebelum dikeringkan, bahan difermentasi.

    singkong

    Cassava flour dan mocaf  inilah yang belakangan diserap oleh industri mi instan, dan produsen tepung terigu untuk bahan roti. Roti rakyat dan mi instan yang tidak memerlukan gluten kadar tinggi, bisa disubstitusi cassava flour, sampai 30%. Yang menjadi masalah, suplai cassava flour dan mocaf  tidak pernah mampu mencapai 30% dari kebutuhan produsen tepung serta pabrik mi instan. Di lain pihak, produsen tepung terigu, dan pabrik mi instan, juga sangat berhati-hati dalam menyerap cassava flour untuk substitusi gandum. Para pelaku bisnis ini takut, apabila konsumen tahu bahwa roti serta mi instan yang mereka santap dicampur singkong, omset akan turun. Padahal sebelum disubstitusi singkong, mi instan dan terigu untuk roti murah pernah disubstitusi dengan beras jatah pegawai negeri dan TNI, yang ditepungkan.

    # # #

    Industri tepung terigu dan mi instan, masih tergolong baru sebagai penyerap singkong. Yang sudah lebih awal menyerap tepung gaplek adalah industri pakan ternak, terutama unggas. Industri minuman ringan, dan serbuk minuman instan (rasa jeruk); juga menyerap pati singkong. Industri minuman ringan menyerap singkong untuk difermentasi menjadi gula cair. Industri serbuk minuman rasa jeruk, juga menyerap singkong untuk difermentasi menjadi gula dan asam sitrat, kemudian diberi zat warna orange, dan aroma jeruk. Penyerap pati singkong terbesar belakangan ini adalah bisnis bakso, siomai, pempek, batagor, cireng, dan kerupuk. Yang paling banyak menyerap pati singkong adalah bakso. Pertumbuhan kuliner bakso restoran, warung, dan pedagang keliling selama dua dekade belakangan ini (1990-2010), sangat pesat. Ini juga seiring dengan pertumbuhan dunia industri dan usaha, yang karyawan serta buruhnya memerlukan bahan pangan cepat saji.

    singkong1

    Dengan tingkat kebutuhan singkong dalam negeri yang terus tumbuh, komoditas ini menjadi bahan rebutan antara eksportir, dengan pelaku bisnis dalam negeri. Gaplek diperebutkan oleh industri pakan ternak dalam negeri, maupun eksportir. Tahun 1990, Indonesia masih mampu mengekspor gaplek 1,2 juta ton. Tahun 2000 ekspor gaplek kita tinggal 151,4 ribu ton, dan tahun 2010 145,2 ribu ton. Ekspor pati singkong kita yang justru naik. Tahun 1990 Indonesia mengekspor pati singkong 6,7 ribu ton, tahun 2000 7,6 ribu ton dan tahun 2010 23,8 ribu ton. Sampai sekarang, Lampung masih tetap penghasil singkong terbesar Indonesia dengan volume 9,1 juta ton. Menyusul Jawa Timur 4 juta ton, Jawa Tengah 3,5 juta ton, dan Jawa Barat 2 juta ton. Total produksi singkong nasional kita tahun 2011 mencapai 24 juta ton. Ekspor produk singkong (gaplek dan tapioka) pada tahun yang sama mencapai 90 ribu ton. Hingga sebagian besar dari produk singkong Indonesia, dikonsumsi di dalam negeri, dalam berbagai bentuk.

    singkong2

    Upaya pengembangan budi daya singkong, terkendala oleh beberapa faktor. Pertama, nilai singkong segar masih terlalu rendah, hingga tidak terlalu menarik bagi petani. Selain itu juga ada informasi bahwa singkong terlalu banyak menyerap unsur hara, serta merusak lahan. Dua hal ini bukan merupakan alasan yang cukup kuat bagi terhambatnya perkembangan budi daya singkong. Harga komoditas singkong memang relatif rendah, namun marjin keuntungannya cukup tinggi, bisa lebih dari 100% dari modal usaha. Dengan umur panen 9 bulan, marjin keuntungan 100% cukup menarik. Akan tetapi karena nilai nominal singkong memang rendah, diperlukan skala budi daya cukup luas, agar keuntungan petani bisa memadai. Dengan lahan 2 hektar, dan hasil 30 ton per hektar; maka petani singkong di Lampung dalam jangka waktu 10 bulan (1 tahun), akan memanen singkong 60.000 kg. Dengan harga Rp 1.000 per kg, maka hasil petani singkong Lampung Rp 60 juta setahun. Modal usaha mereka paling tinggi Rp 20 juta.

    # # #

    Singkong tidak pernah merusak lahan, seperti yang selama ini banyak diisukan. Yang benar, singkong rakus hara tanah. Untuk itu, petani harus memberinya urea dosis tinggi, sampai empat kuintal per hektar per musim tanam. Urea dosis tinggi inilah yang potensial merusak lahan. Agar lahan tidak rusak, perlu penambahan bahan organik, ke dalam areal pertanaman singkong. Minimal, tiap hektar lahan singkong, memerlukan 5 ton pupuk kandang, atau kompos. Makin besar volume pupuk kandang, makin tinggi pupuk kandang atau kompos diberikan, akan makin meningkat pula hasil panen singkong. Rata-rata tanpa pupuk kandang, petani hanya bisa memanen antara 20 – 30 ton singkong segar per hektar per tahun. Dengan penambahan antara 10 sampai dengan 15 ton pupuk kandang, hasil panen akan terus meningkat. Rata-rata produktivitas petani singkong dunia, sebesar 50 ton per hektar per tahun.

    Jadi, kalau ada informasi ada petani mampu menghasilkan 200 ton singkong per hektar per 10 bulan, andaikan benar, tidak mungkin diterapkan secara nasional. Sebab standar produktivitas petani singkong tingkat dunia, hanya 50 ton per hektar per tahun. Misalkan petani kita bisa stabil menghasilkan 30 ton per hektar per tahun, sudah cukup baik. Dengan nilai nominal per kg, di tingkat petani hanya Rp 1.000, daya tarik budi daya singkong menjadi terlalu rendah untuk skala di bawah 10 hektar. Akan lain ceritanya, apabila singkong dibudidayakan dalam skala di atas 1.000 hektar. Maka masuklah perusahaan besar seperti Sinar Mas, Astra Agro, Gunung Sewu, ke agroindustri singkong. Petani kecil pun sebenarnya tetap bisa meraih marjin cukup baik dari singkong. Asalkan petani tidak menjual produk segar, melainkan mengolahnya minimal jadi gaplek, sokur bisa jadi pati singkong. # # #

    Pernah dimuat di Kiat Agribisnis Mingguan Kontan,  25 Februari – 3 Maret 2013

    About

    2 Responses to PELUANG BUDI DAYA SINGKONG

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *